Sved Mann : Ganster yang menangis mendengar bacaan ayat suci al - Quran


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6Y5MklEAxnmqN8scVmFqX7aX3AqWTNrvU1U_4cl7-EO5pLYy9DHoSs7ljbDxllK-GTOMbk6zKh_CKOxCYl8fEG4pcuR9KhaSOWKo9fXTIEhLCLs5MnIF2VBxMrnq4SdRDPH0cprvvZfvQ/s1600/sayed_mann_110125204308.jpg 
 
Semasa berpindah ke bahagian barat Jerman, pada masa tembok Berlin runtuh, Sayed Mann, semasa itu berumur 12 tahun, adalah kanak-kanak yang sedang bingung mencari identiti diri. Keluarganya berasal dari Jerman Timur.

Beliau membesar di persekitaran sosialis, agama tidak pernah ada dalam kamus keluarga dan hidupnya. Ia cenderung tersenyum sinis semasa melihat orang-orang mempunyai keyakinan tertentu, termasuk Muslim,

Di Jerman Barat ia melihat situasi yang berbeza. Imigran lebih banyak ditemui dan ia pun berkawan dengan beberapa orang asing.

“Saya tidak terbiasa dengan kehidupan baru semasa itu,” akui Sayed. “Kami tiap hari hidup seperti sampah. Idola kami adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di daerah terpencil,” katanya.

Terpengaruh dengan mereka, lelaki yang dulunya bernama Sved Mann itu pun juga mencontohi tingkahlaku para imigran itu. “Saya melakukan banyak hal buruk termasuk mencuri dan sebagainya,” kenang Sayed.
 
Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang imigran berasal dari Turki yang menjadi kawan akrabnya. Si kawan itulah yang kemudian mengenalkan Sayed pada Islam dan berhasil mengajaknya memeluk agama tersebut.

Kawan Sayed memiliki abang seorang imam masjid tempatan. Ketika si adik memberi tahu niatnya untuk mengajak Sayed berkunjung ke masjid, imam itu mengaku pesimis.

“Saya beritahu, ‘Dia? Tidak Mungkin’. Tapi adik saya sudah bertekad bulat. Malah ia mengatakan Sayed akan memeluk Islam apabila saya pulang dari perjalanan jauh,” katanya.

Tiga bulan kemudian, ketika si imam pulang kembali ia tiba-tiba disambut oleh Sayed dengan sapaan Assalamu’alaikum. “Wow saya terkejut. Ini benar-benar luar biasa,” ujarnya. “Saya bahkan sempat bertanya (pada Sayed-red) ‘Apa yang terjadi padamu?’”.

Rupanya si imam memahami selama ini Sayed selalu mencari, namun ia tak pernah-pernah meluangkan waktu dan cenderung mengabaikan pertimbangan bersungguh-sungguh.

“Ia mengatakan selalu percaya dengan adanya Tuhan, saya rasa itulah yang membawa dia,” kata si imam. “Saya melihat ia bahagia telah menemui Islam.

Kini si imam malah menjadi guru mengaji Sayed. Dengan disiplin ia belajar bahasa Arab demi dapat membaca Al Qur’an

Tapi Sayeed tak ingin disebut berpindah agama. “Tak pernah ada istilah berubah agama dalam Islam,” ujarnya. “Dalam Al Qur’an disebutkan tidak ada paksaan dalam beragama,” imbuh Sayed lagi.

Lalu? “Saya lebih suka mengambarkannya sebagai ‘seseorang telah mengenalkan saya pada Islam dan saya memilih agama itu,” kata Sayed.

Ketika ditanya oleh Cengiz Kultur, sebuah projek bebas pembuatan filem dokumentari tentang agama dan budaya di Jerman, mengapa ia memilih Islam, dengan yakin Sayed menjawab, “Kerana pada akhirnya semuanya adalah, Islam,” ujarnya menekankan pada makna kata tersebut iaitu berserah diri.

Ia telah mengucapkan ikrar dengan syahadat sepuluh tahun lalu. Sejak pada masa itu itu ia rajin membaca untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam apa makna Islam, termasuk bagi dirinya.

Islam bagi Sayed adalah menyerahkan keinginan diri di bawah kehendak Tuhan. Mengapa ia mahu melakukan? “Kerana dengan itu nanti saya dapat bertemu dengan Pencipta saya, saya dapat menjumpai syurga. Saya berhak untuk itu dan saya kira itulah Islam menurut saya pada masa ini,” papar Sayed ketika ditemuramah Esensi Islam O

Sejak sepuluh tahun pula, Sayed melakukan solat lima kali dalam sehari. “Ketika anda solat anda meninggalkan sementara dan istirehat dari dunia dan seluruh isinya. Anda membersihkan dan menghadap Pencipta,” ujarnya.

Ia mengaku tak ada strategi khusus untuk melakukan solat lima kali dalam sehari di Jerman. “Setiap orang pasti boleh menemukan tempat untuk berwudhu, membasuh diri dan melakukan solat,” ujarnya tanpa rasa susah.

Sayed mengaku menemui keyakinannya setelah perbincangan panjang dengan kawan tadi dalam satu malam. “Setelah itu saya terus menyatakan ingin pergi ke masjid bersamanya,” ungkap Sayeed.

Ketika itu subuh dan seorang anak kecil sedang memperdengarkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Tiba-tiba Sayed pun menangis. “Saya tidak tahu mengapa. Saya tidak faham bahasa Arab, saya tidak tahu apa yang ia baca, tidak tahu apa pun,” kenangnya.

“Tapi hati saya jelas telah memahami sesuatu. Itu benar-benar pengalaman luar biasa,” kata Sayed. “Saya yang hidup di jalanan ala gangster tiba-tiba boleh menangis dan tidak tahu mengapa.”

Kini selain ketenangan dan teraturnya hidup Sayed juga menemui sesuatu berharga lain dalam Islam. “Ketika anda menjadi seorang Muslim, anda kehilangan teman tetapi anda mendapatkan saudara,” ujarnya. Dengan segera anda menjadi anggota sebuah keluarga. Ini sesuatu yang tidak boleh saya perolehi dalam gereja-gereja di Jerman.”

0 komentar:

Posting Komentar