Januari 2004, seperti hari-hari kemarin sepanjang seminggu ini, Margarid sibuk dengan pekerjaan, menyiapkan diskusi untuk desertasi untuk ijazah masternya, dan menyusun persiapan perjalanan ke Nepal untuk memuaskan keinginan menyenangkan diri sendiri dan ingin merasakan diri sebagai orang asing di negeri orang, kerana sudah dua tahun ini ia tidak bercuti.
Margarid ingin sekali mendengar dialek bahasa-bahasa tradisional orang Nepal, mengamati kebudayaan, memahami agama mereka, kebiasaan makan, gaya rumah dan adat istiadatnya. Sudah lama Margarid tertarik dengan ajaran Budha, dan Nepal menjadi tempat yang sesuai untuk memenuhi rasa keingintahuannya tentang komuniti masyarakat Budha.
Sebulan sebelumnya, Margarid menghadiri upacara keagamaan di sebuah kuil Budha di Lisbon. Itu dilakukannya sebagai persiapan dirinya sendiri kerana ia merancang untuk menetap di Nepal. Margarid ingin menyaksikan sendiri bagaimana umat Budha menunaikan ibadahnya dipimpin terus oleh tokoh spiritual agama Budha,
Dalai Lama dan jika mungkin, Margarid juga ingin berlajar teknik meditasi--sesuatu yang ia fikir akan bermanfaat semasa mengalami masa-masa sukar, dan Margarid tahu pada suatu masa ia akan mengalaminya.
"Meditasi mungkin boleh membantuku untuk mencari jalan keluar, untuk memberikan pencerahan. Tapi ada rasa takut yang menyerang, kerana aku ada keluarga, ada kawan, dan sebagai psikologi, aku ada tugas dimana aku juga harus bertanggung jawab pada orang lain," kata Margarid.
Ia menentukan tarikh yang tepat dan meninjau harga tiket untuk perjalanan ke Nepal. Margarid merancang untuk naik pesawat ke Delhi, India dan dari Delhi ia akan meneruskan perjalanan dengan bas ke Kathmandu.
Pertimbangannya, untuk mejimatkan kos perjalanan sekaligus bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat tempatan merupakan pengalaman yang lebih menarik baginya.
"Tapi ternyata semua tiket sudah ditempah, dan tidak ada yang boleh dilakukan selain menunggu," ujar Margarid.
Sebulan penuh menunggu tiket perjalanan membuat Margarid gelisah, seperti ada sesuatu yang memaksa dirinya tapi ia sendiri tidak mengertai sesuatu itu apa. Hari-hari berlalu, situasi pun berubah. Ibu Margarid tiba-tiba membatalkan rancangan perjalanannya ke Mesir dan menawarkan Margarid untuk menggantikannya.
Ketika itu, Margarid hanya menjawab "tidak tahu" apakah ia akan menggantikan perjalanan ibunya ke Mesir. Ia merasa senang ada alternatif lain, tapi Margarid merasa tawaran ibunya tidak penting kerana fikirannya sudah tertaut untuk pergi ke Nepal.
Hingga suatu ketika, semasa sedang melakukan kegiatan rutinnya, Margarid merasa fikirannya begitu jernih dan memikirkan kemungkinan pergi ke Mesir sahaja, dan bukan ke Nepal.
"Ini ada perjalanan dalam hidupku, ke gurun pasir, menyeberangi Sinai dan mengunjungi Jerusalem," ungkap Margarid yang merasa tiba-tiba darahnya menyirap dari hujung rambut sampai hujung kaki. "Aku akan pergi (ke Mesir)," tekad Margarid akhirnya.
Ia lalu mulai mengikuti pertemuan sebuah kumpulan agama Katolik dan mulai menekuni ajaran agamanya itu. Di masa yang sama, Margarid juga membeli dan mulai membaca Al-Quran untuk mengetahui bagaimana konsep ketuhanan para penganut agama Islam.
Selama ini, kata agama dan kata Tuhan menjadi kosakata yang jauh dalam kehidupan Margarid. Sejak ia remaja dan semasa belajar di Lisbon, Margarid mulai menikmati kesempatan untuk bersenang-senang dengan rakan sebayanya termasuk minum minuman keras.
Bulan Mei 2004,
Margarid akhirnya menginjakkan kakinya di Mesir. Hari itu, bertepatan dengan hari kenaikan Isa Al-Masih, Margarid berada di puncak pegunungan Sinai, menghabiskan waktunya untuk berdoa, membaca Alkitab dan cuba lebih mendekatkan diri pada Tuhannya.
Margarid merasa bahagia, tapi rasa takut mulai muncul kerana di puncak gunung Sinai itu hanya ada dia seorang dan beberapa orang Arab Badwi.
Dalam kesendiriannya itu, Margarid merasa mendengar sebuah melodi yang dialunkan dengan sangat perlahan dan syahdu. Ia membuka telinga lebar-lebar dan cuba memfokuskan perhatiannya pada suara yang entah darimana datangnya.
"Ya Tuhan, aku belum pernah melihat atau mendengar suara malaikat? Tapi apakah itu suara malaikat?" Margarid bertanya-tanya dalam hati kerana tidak mampu menentukan suara apa yang didengarnya itu, yang memunculkan rasa damai dan nyaman dalam hatinya.
Setelah dari Sinai, Margarid mengunjungi bandar-bandar di Mesir, dimana ia melihat kaum Muslimin menyempatkan diri solat, walau di jalan, ketika waktu solat telah tiba. Margarid berfikir orang-orang itu sangat rendah hati. "Apakah ajaran agama mereka?" tanya Margarid dalam hati.
Margarid masih terus mengingat pengalamannya semasa di gunung Sinai. Ia merasa Tuhan telah memberikan berkah yang berharga, yang membuatnya merasa kehilangan sesuatu setiap kali memandang ke arah gunung Sinai.
"Saya merasa ada yang hilang, dan tiap kali itu terjadi, membuat saya merasa sedih," ujar Margarid.
Perlu waktu buat Margarid untuk memahami apa yang terjadi. "Sepanjang hidup, saya tidak pernah berlutut di hadapan orang atau bersujud untuk mengungkapkan terima kasih pada seseorang, atau meminta sesuatu pada seseorang," tutur Margarid.
"Tuhan telah memberitahukan saya bahawa Dia-lah satu-satunya yang berhak jika saya harus berlutut," sambungnya.
Apa yang dialaminya di gunung Sinai dan keingintahuannya melihat muslim Mesir yang solat di jalan ketika waktu solat tiba, mendorong Margarid untuk mengenal Islam. Ia meneruskan membaca terjemahan Al-Quran, sehingga ia kembali ke Portugal dan meneruskan aktivitinya sehari-hari.
Bulan Januari 2005,
Margarid kembali mengunjungi Kaherah, Mesir. Kali ini, ia datang dengan perasaan yang berbeza. Pada suatu malam, dari lubuk hatinya yang paling dalam dan dengan suara yang bergetar, Margarid mohon ampun dan meminta agar Tuhan menerima dirinya.
Itulah saat Margarid berikrar Laa Ilaaha Illallaah wa anna Muhammad Rosulullah . Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ia lalu menambahkan nama Islam "Khadija" di depan namanya.
0 komentar:
Posting Komentar